Oleh karena itu, keterpilihan pada 27 November 2024 kemarin bukanlah “kemenangan hakiki”. Ini bukanlah akhir yang diharapkan, atau bagi sebagian kalangan “yang penting menang dulu”. Jika itu logika dasar yang terbangun akibat efuoria kemenangan sehari, maka itulah awal dari gejala rezimentasi yang bisa berujung “kekalahan”. Artinya, menang di Pilkada, kalah di periode kepemimpinan (menang tapi kalah). Sehingga secara kultural, harusnya pada akhir periode nanti ditutup dengan “hepo hiyonga liyo”, bukan “hepo tatadiyawa liyo”.
Sebagai penutup, kepada mereka yang kini telah mendapatkan “kesempatan kedua”, maka pada akhir periode, jika momen “hepo hiyonga liyo” terjadi, bisa selaras dengan salah satu bait pada lagu Forever Young: