Welcome to www.definitif.id | Pasti, Jelas dan Terpercaya | Copyright 2022

Merasa Dikibulin, Warga Buka Suara Terkait Iming-iming Dapat Sertifikat Tanah

Definitif.id, Malang – Wagimin, warga Dusun Sumberejo, Kali Tekuk, Desa Sumberoto, Kecamatan Donomulyo, bersama rombongan berangkat ke Mapolda Jawa Timur (Jatim) dengan harapan mendapatkan sertifikat tanah di lahan garapan Perhutani KPH Malang.

“Saya diajak oleh dua orang Situs dan Plenti alias Pur untuk datang ke Mapolda Jatim. Saat itu, saya berangkat bersama tujuh orang. Pertama-tama, kami berunding mengenai biaya. Kami sepakat untuk patungan 50 ribu rupiah untuk ongkos transportasi, pembelian bensin, dan makanan,” ungkap Wagimin.

“Karena saya merasa tidak enak, saya menyumbang 200 ribu rupiah. Saya ikhlas dalam hal itu. Namun, setelah saya mengetahui bahwa kunjungan ke Mapolda itu untuk mengadukan Pak Kades, saya sangat menyesal,” sambungnya saat diwawancarai di rumahnya oleh Awak Media.

“Saya sama sekali tidak berniat mengadukan Pak Kades, apalagi dalam urusan garapan dan wisata. Ketika warga ingin menggarap area wisata, kami sudah sepakat bahwa jika dibutuhkan oleh wisata, penggarap akan menyerahkan lahan garapan itu untuk tempat wisata,” jelasnya.

“Saya hanya ikut saja. Saat di Mapolda, saya juga tidak ditanya apa pun. Untuk hal lain yang bisa dijelaskan dengan jelas, Pak Siswandi, mantan ketua KTH yang lama, ikut rombongan juga ke Mapolda,” ucap Sitis.

“Dulu saya menjabat sebagai ketua KUPS. Waktu itu, saya bertanggung jawab mengumpulkan pembayaran dari warga penggarap atau pesanggem. Mengenai kunjungan kami ke Mapolda, saya juga hanya ikut-ikutan. Saya juga menyumbang uang sebesar 50 ribu rupiah untuk makanan dan bensin,” kata Purwanto yang juga sebagai mantan Ketua KUPS JASLING.

Melalui pesan WhatsApp, Awak Media juga mengkonfirmasi Siswandi selaku mantan Ketua KTH terkait tujuan kedatangan rombongannya ke Mapolda Jatim. “Waduh, kalau itu, aku tidak tahu. Aku hanya ikut Mas Trendi. Mas Trendi yang membawa saya,” jawabnya singkat melalui pesan WhatsApp.

Sama halnya diakui oleh Miserin, salah satu dari tujuh orang warga yang ikut rombongan ke Mapolda Jatim. “Saya waktu itu tiba-tiba disuruh tanda tangan oleh Plenti alias Pur, Sitis, dan Rendi.”

“Tentang saya datang ke Mapolda, ceritanya saya dan istri disuruh pulang untuk mengambil beras dan tiwul. Saat itu, istri memberi tahu bahwa saya dicari oleh besan saya di rumah Sitis disuruh membakar-bakar. Saat saya sampai di rumah Pak Sitis, saya langsung diajak naik mobil. Saya mau saja karena Pak Sitis bilang saya akan mendapatkan sertifikat lahan garapan saya. Pak Pur tidak mengatakan apa-apa, hanya suruh tanda tangan. Saat saya tanda tangan, ada saksi, Pak Gendon dan Mbak Win,” imbuhnya.

“Dulu, saya juga ditarik biaya garapan sebesar 350 ribu rupiah oleh KTH yang lama. Ada yang ditarik 900 ribu rupiah juga,” tambahnya.

“Tentang kunjungan ke Mapolda, saya hanya ikut saja. Karena sebelumnya, saya dijanjikan bahwa lahan garapan saya akan dikeluarkan sertifikat. Ternyata malah ramai katanya saya ikut mengadukan Pak Kades. Saya bingung atas isu itu,” kata Miserin.

Kades Sumberoto sendiri mengaku kaget saat mendapatkan surat tembusan aduan terkait dirinya. Di surat aduan tersebut tertulis, “pengaduan/laporan masyarakat adanya tindakan oknum Kades dan Bumdes terlibat penyerobotan tanah masyarakat dan tindak pidana korupsi.”

“Selama ini, urusan keberlangsungan rumah tangga KTH, saya sebagai Kades, hanya sebatas mengetahui. Semua usulan dari BUMDES maupun KTH, selama itu bermanfaat bagi masyarakat dan desa, pasti saya support dan saya pertimbangkan, itupun dengan musyawarah,” tegas kades.

“Usulan atas dasar kemauan masyarakat banyak, apa yang bisa Kades lakukan? Kades hanya pelayan masyarakat. Tentunya, jika itu keinginan banyak masyarakat untuk memajukan desa, saya harus mendukung agar bisa terwujud,” ujar kades.

“Sebetulnya, kami sebagai warga Sumberoto sudah merasa geram dengan orang-orang yang menjelek-jelekkan kades. Tujuan kami adalah memajukan wisata, supaya desa kami maju dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi warga sekitar wisata. Pak Kades seringkali harus mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Kata orang Jawa, ‘gae torok torokan tok gae mbelani wargane.’ Kok masih ada yang usil,” ucap Sugianto Mbolon, salah satu warga Desa Sumberoto.

“KTH yang lama dulu dilepas dari jabatannya sebagai ketua KTH setelah didemo oleh warga di balai dukuh Mas. Selama kepemimpinan ketua KTH yang lama, wisata tidak mengalami kemajuan dan laporan pemasukan tidak jelas. Padahal, saat itu selalu ada pemungutan biaya, penerbitan peta bidang, dan penarikan biaya lainnya,” ungkapnya.

“Berbeda dengan KTH yang baru, semuanya transparan. Kalau butuh saya jadi saksi, saya siap. Saya tahu semua,” pungkasnya.

Sampai berita ini diterbitkan, pihak atas nama Rendi, Awak Media belum bisa mengkonfirmasi. Sesuai hasil analisis Awak Media di lapangan, masih ada warga yang tidak paham tentang apa itu IPHPS. Ada anggapan di masyarakat bahwa lahan Perhutani dengan adanya IPHPS, lahan-lahan itu dibagikan secara hak milik kepada masyarakat oleh negara.

Seharusnya pihak-pihak terkait, khususnya Dinas Kehutanan, melakukan sosialisasi lebih intensif. Jangan sampai masyarakat yang tidak paham dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan, sehingga menimbulkan kegaduhan dan kerugian di masyarakat, terutama pada masyarakat tepian hutan, yang kehidupannya bergantung pada hutan.